ASAS ASAS DALAM PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LATAR BELAKANG
Kemajuan Ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi menyebabkan arus komunikasi menjadi cepat dan tanpa batas. Hal ini brdampak lagsung pada bidang Norma kehidupan dan ekonomi, seperti tersingkirnya tenaga kerja yang kurang berpendidikan dan kurang trampil, terkikisnya budaya lokal karena cepatnya arus informasi dan budaya global, serta menurunnya norma-norma masyarakat kita yang bersifat pluralistik sehingga rawan terhadap timbulnya gejolak sosial dan disintegrasi bangsa. Adanya pasar bebas, kemampuan bersaing, penguasaan pengetahuan dan teknologi, menjadi semakin penting untuk kemajuan suatu bangsa. Ukuran kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser dari modal fisik atau sumber daya alam ke modal intelektual, pengetahuan, sosial, dan kepercayaan.
Hal ini membutuhkan pendidikan yang memberikan kecakapan hidup (Life Skill ), yaitu yang memberikan keterampilan, kemahiran, dan keahlian dengan kompetensi tinggi pada peserta didik sehingga selalu mampu bertahan dalam suasana yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif dalam kehidupannya. Kecakapan ini sebenarnya telah diperoleh siswa sejak dini mulai pendidikan formal di sekolah maupun yang bersifat informal, yang akan membuatnya menjadi masyrakat berpengetahuan yang belajar sepanjang hayat (Life Long Learning).
BAB III
ISI
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berfikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Di dalam Bab I secara tersirat telah dikemukakan berbagai asas tersebut dengan pengkajian berbagai dimensi hakikat manusia (keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan). Pandangan tentang hakikat manusia merupakan tumpuan berfikir utama yang sangat penting dalam pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan dapat mendidik diri sendiri. Seperti diketahui, manusia yang dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung pada orang lain (orang tuanya, terutama ibu) namun memiliki potensi yang hampir tanpa batas untuk dikembangkan. Bayi itu melalui pendidikan dapat dikembangkan menjadi calon pakar yang dapat merancang dan membuat pesawat angkasa luar yang dapat menjelajah ruang angkasa, dan mampu merekayasa genetika yang memicu revolusi hijau dengan berbagai bibit unggul, ataupun sebaliknya mampu membuat bom yang dapat menghancurkan manusia dan kebudayaannya.
Khusus untuk pendidikan di indonesia, terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas-asas tersebut bersumber baik dari kecendrungan umum pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di indonesia. Di antar berbagai asas tersebut, lima buah asas akan dikaji lebih lanjut dalam paparan ini. Kelima asas ini adalah asas tut wuri handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Kelima asas itu dipandang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, setiap tenaga pendidikan harus memahami dengan tepat kelima asas tersebut agar dapat menerapkannya dengan semestinya dalam penyelenggaraan pendidikan sehari-hari.
1. ASAS TUT WURI HANDAYANI
Asas tut wuri handayani, yang kini menjadi semboyan Depdikbud, pada awalnya merupakan salah satu dari “asas 1922” yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa (didirikan 3 juli 1922). Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari Sistem Among dari perguruan itu. Asas ataupun semboyan tut wuri handayani yang dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu mendapat tanggapan positif dari Drs. R.M.P. Sostrokartono (filsuf dan ahli bahasa) dengan,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas, yakni:
Ø Ing ngarsa sung tulada (jika di depan, menjadi contoh),
Ø Ing madya mangun karsa (jika di tengah-tengah, membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi), dan
Ø Tut wuri handayani (jika di belakang, mengikuti dengan awas).
Agar diperoleh latar keberlakuan awal dari asas tut wuri handayani,perlu dikemukakan ketujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa tersebut. Seperti diketahui Perguruan Nasional Taman Siswa yang lahir pada tanggal 3 Juli 1992 berdiri diatas tujuh asas yang merupakan asas perjuangan untuk menghadapi Pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan sifat yang nasional dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut yang secara singkat disebut “Asas 1922” adalah sebagai berikut:
a. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum.
b. Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti lahir dan bathin dapat memerdekakan diri.
c. Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
d. Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
e. Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupun bathin hendakalah diusahakan dengan kesatuan sendiri,dan menolak bantuan apa pun dan dari siapa pun yang mengikat, baik berupa ikatan lahir maupun ikatan bathin.
f. Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
g. Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan bathin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak.
Asas tut wuri handayani merupakan inti dari asas pertama (butir a ) yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,dalam peri kehidupan umum. Dari asasnya yang pertama ini jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Taman Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai (tata dan tentram, orde on verde ). Kehidupan yang tertib dan damai hendaknya dicapai menurut dasar kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini pulalah yang mendorong Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa, yang didasarkan pada perkembangan kodrati. Dari asas ini pulalah lahir “Sistem Among”, di mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan bersemboyan “tut wuri handayani”, yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, “Sistem Among” adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan para guru supaya mengingati dan mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.
Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri handayani, pada hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidaka ada unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidaka ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Dari sisi lain, pendidik setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh) adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan guru. Ing madya mangun karsa (di tengah membangkitkan kehendak) diterpakan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai satu kesatuan asas (ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) telah menjadi asas penting dalam pendidikan di Indonesia.
2. ASAS BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long learning)................................. Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education (UIE Hamburg) menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus:
(1) Meliputi seluruh hidup setiap individu.
(2) Mengarah kepada pembentukan, pembaruan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya.
(3) Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu.
(4) Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri.
(5) Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal dan informal. Istilah pendidikan seumur hidup erat kaitannya dan kadang-kadang digunakan saling bergantian dengan makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini memang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Seperti diketahui, penekanan istilah “belajar” adalah perubahan prilaku (kognitif/afektif/fisikomotor)yang relatif tetap karena pengaruh pengalaman, sedang istilah “pendidikan” menekankan pada usaha sadar dan sistematis untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan pengaruh pengalaman tersebut lebih efisien dan efektif, dengan kata lain, lingkungan yang membelajarkan subjek didik.
Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar-mengajar di Sekolah seyogianya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif, dan serentak dengan itu, meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis belajar sepanjang hayat. Ditinjau dari pendidikan sekolah, masalahnya bagimana merancang dan mengimplementasikan suatu program belajar-mengajar sehingga mendorong terwujudnya belajar sepanjang hayat, dengan kata lain, terbentuk manusia dan masyarakat yang mau dan mampu terus menerus belajar.
Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasi dengan memperhatikan dua dimensi berikut:
a. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: Disamping keterkaitan dan kesinambungan antartingkatan persekolahan, harus pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Termasuk dalam dimensi vertikal itu antara lain pengkajian tentang:
1) Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk relevansi bahan ajaran dengan masa depan dan pengintegrasian masalah kehidupan nyata ke dalam kurikulum.
2) Kurikulum dan perubahan sosial-kebudayaan: Kurikulum syogianya memungkinkan antisipasi terhadap perubahan sosial-kebudayaan itu karena peserta didik justru akan hidup dalam sosial-kebudayaan yang telah berubah setelah menamatkan sekolahnya.
3) “The forecasting curriculum” yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu prognosis, baik tentang prilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat hidup ia dalam sistem yang sedang berlaku, maupun pada saat ia hidup dalam sistem yang telah berubah di masa depan.
4) Keterpaduan bahan ajaran dan pengorganisasian pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh keterpaduan ide bidang studi itu.
5) Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri maupun dalam bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama membangun masyarakatnya.
6) Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar, dan demikian seterusnya.
7) Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus dapat melihat kemanfaatan yang akan didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan kepribadiannya, dan sebagainya.
b. Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah..........................antara lain:
1) Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di luar sekolah menjadi objek refleksi teoritis di dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta didik lebih memahami persoalan-persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah.
2) Memperluas kegiatan belajar ke luar sekolah; kehidupan di luar sekolah dijadikan tempat kajian empiris, seingga kegiatan belajar-mengajar terjadi di dalam dan di luar sekolah.
3) Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan belajar-mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah maupun kegiatan belajar di luar sekolah.
Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan mengguanakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan meberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan masyarakat yang mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society). Dengan kata lain, akan terwujudlah gagasan pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.
3. ASAS KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR
Baik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat kaitannya dengan asas kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar, sedini mungkin di kembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap untuk ulur tangan apabila diperlukan. Selanjutnya, asas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena adalah tidak mungkin seseorang belajar sepanjang hayatnya apabila selau tergantung dari bantuan guru ataupun orang lain.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebaga fasilitator dan motivator, di samping peran-peran lain: Informator, organisator, dan sebagainya. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian sehingga memudahkan peserta didik berinterkasi dengan sumber-sumber tersebut. Sedang sebagai motivator, guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar itu. Pengembangan kemandirian dalam belajar ini seyogianya dimulai dalam kegiatan intrakurikuler, yang dikembangkan dan dimantapkan selanjutnya dalam kegiatan kokurikuler dan ekstra-kurikuler. Atau, untuk latar perguruan tinggi: Dimulai dalam kegiatan tatap muka, dan dikembangkan dan dimantapkan dalam kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri. Kegiatan tatap muka atau intrakurikuler terutama berfungsi membentuk konsep-konsep dasar dan cara-cara pemanfaatan berbagai sumber belajar, yang akan menjadi dasar pengembangan kemandirian dalam belajar di dalam bentuk-bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri, atau kegiatan ko- dan ekstrakurikuler itu.
Terdapat berbagai strategi belajar-mengajar dan atau kegiatan belajar-mengajar yang dapat memberi peluang pengembangan kemandirian dalam belajar. Cara belajar siswa aktif (CBSA) merupakan salah satu pendekatan yang memberi peluang itu, karena siswa dituntut mengambil prakarsa dan atau memikul tanggung jawab tertentu dalam belajar-mengajar di sekolah, umpamanya melalui lembaga kerja. Di samping itu, beberapa jenis kegiatan belajar mandiri akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemandirian dalam belajar itu, seperti belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram, dan sebagainya. Keseluruhan upaya itu akan dapat terlaksana dengan semestinya apabila setiap lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh suatu pusat sumber belajar (PSB) yang memadai. Seperti diketahui, PSB itu memberi peluang tersedianya berbagai jenis sumber belajar, di samping bahan pustaka di perpustakaan, seperti rekaman elektronik, ruang-ruang belajar (tutorial) sebagai mitra kelas, dan sebagainya. Dengan dukungan PSB itu asas-asas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan dikembangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar